Seks Di Balik Kerudung
godaan duniawi begitu hebat… datang silih berganti seperti halnya Sheila yang tak bisa menolak ajakan teman yang ia sukai itu. 2 tahun sudah mereka saling mengenal, sejak keduanya sama-sama duduk di bangku kelas satu. Dan perasaan suka itu muncul di hati Sheila tak lama setelah pertemuan pertamanya. Kalau tidak karena Amaris memberi sinyal yang sama, Sheila tentu sudah melupakan perasaannya.
Tapi cowok itu terus saja bersikap spesial kepadanya, hingga cinta jarak jauh mereka terjalin erat meski tanpa kontak fisik. Lalu tiga bulan yang lalu saat menjelang Ujian Akhir Sekolah. Kelas pria dan wanita yang biasanya terpisah mulai digabung di beberapa kesempatan karena alasan peningkatan intensitas pelajaran. Siswa putra duduk di barisan depan, sedang yang putri di bagian belakang. Tapi Amaris duduk di barisan putra paling belakang sedang Sheila di barisan putri paling depan. Maka tak ayal Amaris berada tepat di depan Sheila.
Dan itulah awal kontak terdekat yang terjadi pada mereka. Biasalah… Awalnya pura-pura pinjam alat tulis, tanya buku, ini… itu… Tapi senyuman makin sering tertukar dan kontak batin terjalin dengan pasti. Kadang ada alasan bagi keduanya untuk tidak keluar buru-buru saat istirahat, hingga ada masa singkat ketika mereka hanya berdua di dalam kelas, tanya-tanya pelajaran—alasan basi yang paling disukai setiap orang.
Dua bulan lebih dari cukup untuk memupuk rasa cinta. Meski pacaran adalah terlarang, dan keduanya belum pernah saling mengutarakan cinta, tapi semua teman mereka tahu keduanya adalah sepasang kekasih. Hubungan cinta yang unik di jaman yang serba bebas ini. Dan Sheila begitu menikmati perasaannya. Setiap waktu teramat berharga. Sekilas tatapan serta seulas senyuman selalu menjadi bagian yang menyenangkan.
Lalu cinta mulai berkembang saat kenakalan muncul perlahan-lahan. Sheila sempat ragu saat Amaris memintanya untuk datang ke Mall M sepulang sekolah sore itu. Sejuta perasaan bahagia membuncah di hati Sheila, bercampur dengan rasa takut dan kegugupan yang luar biasa. Ia nyaris pulang lagi saat sore itu ia berdiri di pintu Mall untuk bertemu dengan Amaris.
Tapi cowok itu keburu melihatnya hingga ia tak dapat menghindar lagi. Ia tahu bahwa dirinya salah tingkah selama kencan pertama mereka. Malamnya Sheila tak bisa tidur. Membayangkan tentang betapa menyenangkannya kencan mereka, saat untuk pertama kalinya Amaris menggenggam tangannya selama berkeliling melihat-lihat banyak hal.
Seluruh tubuhnya terasa panas dingin. Amaris bahkan membelikan sebuah hadiah berupa kalung mutiara yang sangat mahal untuk ukuran dirinya. Untaian mutiara itu sangat indah, putih memancarkan kilau yang terang.
“Walaupun aku tak akan dapat melihatmu mengenakan kalung itu, kuharap kamu mau tetap mengenakannya.” Dan tentu saja ia senantiasa mengenakan kalung mutiara itu.
Satu bulan itu dihiasi dengan kencan sembunyi-sembunyi yang sangat mendebarkan. Seperti bermain kucing-kucingan dengan semua orang yang Sheila kenal. Kalau ada satu saja orang yang tahu Sheila berduaan dengan seorang pria di Mall, maka Sheila tak dapat membayangkan petaka apa yang akan menimpanya. Tapi berhenti dari melakukan itu ia yakini lebih mengerikan daripada terus menjalaninya. Karena, di sore itu, di satu sudut yang sepi di dalam Mall, tiba-tiba saja Amaris mencium pipinya dengan cepat tanpa mengatakan apapun juga. Hanya sekilas, dan Amaris membuat seolah-olah itu tak pernah terjadi. Tapi pengaruhnya sangat besar pada diri Sheila. Karena seluruh perasaannya bergemuruh dan membuncah. Bercampur aduk hingga ia hanya bisa diam saja seperti orang bodoh.
Sisa sore itu berlalu tanpa ada dialog apapun, karena Sheila tahu wajah putihnya telah berubah semerah udang rebus. Meninggalkan kesan terindah yang terbawa ke dalam mimpi bermalam-malam sesudahnya. Tiga hari sejak peristiwa itu Sheila selalu berusaha menghindar dari Amaris. Ia merasa malu, bingung dan takut. Bagaimanapun juga satu sisi perasaannya masih memiliki keyakinan bahwa cinta mereka mulai melewati batas.
Tapi ia belum tahu cara kerja nafsu. Karena ketika akhirnya mereka bertemu kembali, Sheila tak bisa menolak saat di banyak kesempatan Amaris mencium pipinya berkali-kali; kanan dan kiri. Bahkan, saat Amaris semakin nakal dengan meremas tangannya, memeluk tubuhnya dan mencium bibirnya (meski semua itu dilakukan Amaris tak lebih dari lima detik saja), Sheila hanya terpana dan sangat menikmati semuanya. Sebelum berpisah, Amaris berbisik pelan kepadanya,
“Kamu mau, kan, main ke rumah besok sore?”
Anehnya, seperti seorang yang terhipnotis, Sheila mengangguk… Maka, sore itu, dengan mengenakan gamis bercorak ceria khas remaja dengan hiasan renda bunga melati, dipadukan dengan jilbab pink yang disemati bros berbentuk kupu-kupu, juga sebuah tas jinjing dari kain kanvas, Sheila duduk di sofa ruang tamu di rumah Amaris. Menunggu kekasihnya mengambilkan dua gelas jeruk dingin dan sepiring buah-buahan segar. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dan mendapatkan kesan yang sangat menyenangkan.
Kesan itu didapat, sebagian karena bagaimanapun ini adalah rumah orang yang ia cintai, dan sebagiannya lagi karena pemiliknya memiliki cukup banyak uang untuk menata dengan demikian indahnya. Sheila tak tahu banyak soal dekorasi, tapi sesungguhnya rumah itu memang didesain dengan nuansa klasik yang sesuai dengan alam pegunungan tempat rumah itu berdiri.
Perabotan, dari mulai lampu-lampu, tempat duduk, meja, lukisan-lukisan serta berbagai hal didominasi oleh corak bambu dan kayu asli. Sementara dedaunan dan tanaman hijau—bercampur antara imitasi dan buatan—menghiasi sudut-sudut yang tepat. Air terjun buatan dibangun di samping ruang tamu, dengan cahaya matahari yang hangat menyinari dari kaca jendela samping.
Wilayah itu ditutup oleh kaca bening yang dialiri air dari atas, sehingga mengesankan suasana hujan yang indah dan menimbulkan bunyi gemericik air yang terdengar menyenangkan. Lukisan pedesaan dipasang di satu sudut yang tepat bagi pandangan mata, dengan gaya naturalis hingga setiap detail nampak sangat jelas. Seperti sebuah gambar namun memancarkan aura magis yang lebih kentara. Sheila sempat terpana dengan semuanya, dengan kesejukan yang melingkupi seluruh dirinya, sampai ia tak sadar kalau Amaris telah duduk di sebelahnya, sedang menata gelas dan piring-piring.
“Maaf, ya… Seadanya. Habisnya Umi lagi ke Bandung ikut seminar, nemenin Abi…”
Sheila tersipu malu. Ia berasal dari keluarga yang lebih sederhana, sehingga rasa mindernya muncul saat mendapati rumah yang demikian besar dan mewah ini ternyata milik pacarnya.
“Nggak apa-apa, Ris. Sheila seneng, kok…” Sheila merasakan suaranya tercekat di tenggorokan.
Sore itu Sheila lalui dengan sangat menyenangkan. Ngobrol berdua, bercanda, tertawa, nonton film, main game PS hingga makan malam. Sheila baru tahu bahwa ternyata Amaris bisa memasak. Pintar malah. Kelezatan rasanya melebihi masakan yang pernah ia buat. Dengan malu ia mengakui itu di hadapan kekasihnya, yang membalasnya dengan ciuman pipi kanan yang lembut.
“Aku tetep cinta kamu, kok…”
Perlu diketahui bahwa Sheila saat itu berusia 16 tahun dan memiliki tubuh yang mulai matang sebagai seorang wanita. Posturnya juga tinggi dengan wajah manis yang terkesan keibuan. Tapi percayalah bahwa ia sangat polos, lebih polos dari wanita SD di kota besar yang telah mahir urusan peluk dan cium. Desa tempat ia tinggal sangat jauh dari arus informasi dan pengaruh buruk ibukota.
Maka ia tak menaruh prasangka apapun saat Amaris mengajaknya menginap di rumahnya malam itu. Memang ini urusan yang tabu di desanya, tapi kepolosan Sheila membuatnya yakin bahwa Amaris tak akan melakukan hal buruk terhadapnya. Sehingga, pilihan berbohong ia lakukan agar bisa berduaan terus dengan kekasihnya. Ia telah bilang pada orang rumah bahwa ia akan menginap di rumah Pandan.
Ia tahu orang tuanya tak akan curiga, karena hal itu biasa ia lakukan di waktu-waktu ujian sekolah. Apalagi menjelang Ujian Akhir seperti sekarang. Suasana malam sangat sunyi dan suara jengkerik telah berganti dengan burung malam. Tak berapa lama rintik hujan mulai turun, dan Sheila tak menyadarinya sampai hujan itu berubah jadi deras. Sangat deras, karena di musim penghujan seperti ini hal seperti itu selalu saja terjadi. Kalau tidak karena suasana cinta yang tengah meliputinya, Sheila tak akan betah di rumah orang dalam situasi seperti itu.
O, iya… Sebetulnya Sheila dan Amaris tidak benar-benar berdua di rumah, karena ada Hana, adik perempuan Amaris yang sekarang duduk di bangku kelas 1 SMP. Makanya Sheila tidak terlalu merasa sungkan, karena ia bisa bermain dengan Hana juga di sepanjang sore dan malam itu. Amarislah yang agak kerepotan karena harus meminta Hana agar berjanji tidak memberitahukan keberadaan Sheila kepada orang tua mereka.
Hana sebetulnya tidak susah dibujuk. Hanya saja keberadaannya menyulitkan karena ciuman-ciuman harus dilakukan secara hati-hati. Peluk dan cium beberapa waktu yang lalu memang mendapatkan perlawanan (meski setengah hati) dari Sheila. Tapi hal itu tak berlaku malam ini, karena kini Sheila merasa lebih santai dan bebas.
Di satu kesempatan Amaris memeluknya sembari mencium bibirnya sekilas. Di kesempatan lain ia dipeluk dari belakang, tepatnya saat ia mencuci piring bekas makan malam dan pria itu mengendap-endap dari belakang dan begitu saja melingkarkan tangan di pinggangnya. Sheila sempat menjerit pelan dan berusaha meronta, tapi tangannya yang memegang piring dipenuhi busa sabun hingga susah untuk bergerak. Ia hanya menggelinjang pelan dan merengek lemah, saat pelukan itu makin erat dan ciuman di pipinya membuatnya terbius. Hampir saja Hana melihat perbuatan mereka, kalau Amaris tidak buru-buru melepaskan pelukan di pinggang yang ramping itu.
Setelah mandi malam yang menyenangkan, di dalam bath-tub air hangat yang penuh busa dan peralatan mandi yang lengkap milik Umi Amaris, Sheila bergabung dengan kakak beradik di ruang TELEVISI. Ia mengenakan busana malam yang lebih santai (setidaknya untuk ukuran wanita berjilbab); kemeja kaus lengan panjang putih bermotif garis warna biru dengan bawahan rok katun berwarna biru lembut, dipadukan jilbab simpel berwarna biru senada.
Parfum aroma bunga khas remaja ia seprotkan di tempat-tempat yang tepat untuk menyegarkan dirinya. Lalu ia duduk di samping Hana yang sedang tertawa menyaksikan film kartun di televisi. Mata Sheila saat itu tertuju penuh ke televisi, namun pikirannya terbang ke alam tertinggi yang penuh imajinasi. Pelukan dan ciuman hangat dari Amaris mau tak mau membangkitkan gairah terpendam yang selama ini tersembuyi jauh di dasar jiwanya. Ia mengalami semacam sensasi aneh yang baru dikenalnya, yang sangat memabukkan dan membuatnya lupa diri. Jam baru pukul delapan malam namun kegelisahannya telah memuncak. Sheila tak tahu, atau mungkin tak berani mengakui bahwa dirinya telah dipenuhi sensasi seks yang menyenangkan.
Terlebih ini adalah masa-masa suburnya. Letupan-letupan kecil yang dipicu oleh Amaris membuatnya perlahan-lahan tebawa ke arus deras, hingga sulit terbendung oleh keremajaannya yang sedang membara. Penghalang dirinya untuk melakukan hal-hal yang lebih seronok adalah rasa malu, takut serta ketidaktahuan yang besar tentang kondisi-kondisi semacam ini. Tapi pancingan-pancingan yang dilakukan oleh Amaris dengan lihai membawanya pada pengalaman-pengalaman terlarang yang sangat menggairahkan. Semuanya akibat kepolosan sang wanita remaja.
Jam delapan lewat dua puluh menit Amaris bangkit dari duduknya dan menarik tangan Sheila agar mengikutinya. Hana tak sadar karena ia terfokus pada acara televisi. Sheila menurut dan dadanya berdebar kencang saat Amaris menariknya ke lantai dua. Kalau Sheila sedikit lebih gaul, ia akan tahu Amaris bermaksud melakukan sesuatu, tapi Sheila jauh lebih polos dari yang orang kira, hingga ia justru merasa senang saat Amaris mengajaknya untuk melihat-lihat kamarnya.
Ia senang bisa tahu isi dalam kamar kekasih yang ia cintai. Sheila kagum pada suasana kamar Amaris yang menyenangkan. Ia juga terkejut saat menemukan gambar dirinya dalam pose separuh badan terpampang di dinding kamar. Gambar itu ditutupi Amaris oleh poster pemain bola, hingga tidak ada yang tahu bila setiap malam ia menarik poster itu dan memandangi gambar wanita yang tersenyum manis di sana. Sheila setengah lupa tentang kapan ia membuat gambar itu. Ia merasa gambar itu lebih cantik dari aslinya.
Tapi Amaris menjelaskan bahwa program komputer photoshop dapat melakukan banyak hal, seperti membuat wanita secantik dirinya terlihat lebih segar dan mempesona. Sheila tersipu malu. Tapi itu belum seberapa, karena tiba-tiba Amaris menarik dirinya agar berhadapan, lalu mengeluarkan sepasang anting mutiara dari kotak beludru di saku celananya.
Sheila terperanjat. Amaris berbisik mesra,
“Ini pasangan kalung yang pernah kuberikan. Aku mau kamu memakainya…”
Mata Sheila berkaca-kaca. Kalau saja ia berani, ia sudah memeluk pria di hadapannya dan menciumnya bertubi-tubi. Tapi ia terlalu malu untuk melakukan hal semacam itu. Ia hanya salah tingkah, saat Amaris meletakkan anting-anting itu di telapak tangannya dan berkata lagi,
“Aku pasangkan sekarang, ya…”
“Tapi…” Suara Sheila serak dan lirih.
“Tapi kenapa?”
“Sheila malu…”
“Kok malu? Bukankah kita saling mencintai?! Masihkah kita saling tertutup?”
Sheila bingung untuk menjawab, karena ini adalah momen pertama dalam hidupnya ketika ia harus membuka jilbabnya di hadapan seorang laki-laki. Wanita-wanita yang biasa berbikini di kolam renang atau berpakaian seksi di Mall-mall tentu tak akan paham kenyataan ini. Tapi Sheila adalah perempuan yang sejak belasan tahun lalu selalu menutup seluruh bagian tubuhnya dan tak memamerkannya pada siapapun kecuali keluarganya. Melepas jilbab baginya sama seperti melepas rok di depan kamera bagi wanita keumuman. Aneh? Memang! Tapi itulah kenyataannya. Ia setengah menangis saat tak kuasa menolak permintaan Amaris yang menyudutkan itu. Ia memang diam.
Tapi dadanya bergemuruh hebat saat jemari Amaris melepasi jarum dan peniti yang menyemati jilbabnya. Ia tertunduk dalam dan menahan nafas saat tangan kekasihnya menarik lepas jilbabnya. Tangannya yang gemetar meremas-remas ujung kaus, dan tanpa sadar ia menggigit bibirnya sendiri saat Amaris menarik dagunya agar mereka bisa saling bertatapan serta membelai rambutnya dengan mesra; rambut yang hitam lurus sepanjang bahunya.
“Kamu cantik sekali, Sheila…” Suara itu terdengar lirih, dan Sheila hanya terpejam menahan semua perasaannya.
Itu adalah ekspresi terbodoh yang pernah ia lakukan, atau justru yang terbaik, karena semuanya mendorong Amaris untuk mengecup bibirnya dengan lembut. Ciuman hangat dan penuh cinta, membawa Sheila terbang tinggi dan melupakan dunia ini.
“Mmmh…” Sheila hanya terpejam pasrah. Tubuhnya gemetar hebat.
Tapi mulutnya terbuka lebar saat lidah Amaris mulai menjulur dan menggelitiki rongga mulutnya. Lidahnya ikut bergerak meski masih sangat kaku, saling menggelitiki untuk mendapatkan sensasi aneh yang sempurna. Tangannya begitu saja memeluk lengan Amaris yang kokoh, yang saat itu tengah melingkarkannya di pinggangnya sendiri.
Waktu seakan berhenti. Dan keduanya terpaku seperti sepasang patung sihir. Hanya helaan nafas yang terdengar di sela-sela ciuman membara dan dipenuhi gelora cinta. Kedua tubuh itu merapat dan saling bergesekan, seakan tak dapat terpisahkan. Saling memberikan rasa hangat yang aneh dan membangkitkan seluruh saraf yang tertidur. Keduanya baru berhenti ketika nafas mulai habis dan terengah-engah kelelahan. Sheila kaget dan merasa malu sekali. Mulutnya basah akibat ciuman panas itu.
Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa selain menanti yang terjadi selanjutnya. Ia membiarkan Amaris memasang anting-anting di kedua telinganya. Ia menahan rasa geli saat jari jemari Amaris seakan menggelitik kedua telinganya, dan menurut saja ketika pria itu menuntunya ke hadapan cermin besar.
“Lihat… Kamu cantik sekali..”
Sheila melihat sekilas ke cermin, menyaksikan dirinya sendiri tanpa jilbab, dengan dihiasi anting-anting dan kalung mutiara dari kekasihnya. Ia merengek manja dan menutup muka dengan telapak tangannya.
“Aah… Amaris jahat… Sheila malu…”
“Malu sama siapa?” Mereka bercanda dengan mesra dan lebih hangat.
Ciuman tadi telah menyingkapkan tabir kekakuan yang telah terbentuk selama ini. Mereka kini lebih mirip sepasang kekasih, dengan pelukan dan ciuman hangat yang sarat nuansa cinta. Pagi itu adalah pagi terindah bagi Sheila. Menghidangkan sarapan di meja makan untuk Amaris membuatnya merasa seperti seorang istri yang melayani suaminya. Amaris dan adiknya sangat puas dengan masakannya.
Canda tawa menghiasi makan pagi mereka yang berlangsung dengan santai. Seusai makan Hana langsung berangkat sekolah, meninggalkan sepasang sejoli yang dimabuk asmara itu tanpa kecurigaan apapun. Membiarkan keduanya menikmati hari dalam kemesraannya. Tapi, kalau kamu berpikir malam itu keduanya melakukan hubungan-hubungan khusus suami istri, percayalah bahwa kamu salah besar.
Mereka masih terlalu penakut untuk melakukan hubungan yang lebih jauh. Meskipun ciuman mereka semakin panas, aktivitas lain masih terhitung sopan karena tangan Amaris tak pernah bergerilya seperti tangan para professional. Masih tetap pelukan sopan yang tak melibatkan rabaan ataupun sentuhan lain. Keduanya tidur terpisah dan tak ada aktivitas nakal di malam hari. Sheila pulang dari rumah Amaris sekitar pukul sepuluh pagi, setelah banyak ciuman tambahan sehabis sarapan dan mandi pagi. Kepada orang rumah ia bilang sekolah pulang cepat.
Seharian ia lebih banyak mengunci diri dalam kamarnya, menikmati sensasi imajinasi yang semakin liar dibanding waktu sebelumnya. Pertemuan selanjutnya ternyata lebih lama dari yang diduga. Keduanya benar-benar tersibukkan oleh tugas-tugas sekolah, hingga baru bertemu lagi (untuk berduaan tentunya) dua minggu setelahnya. Keluarga Amaris berlibur ke rumah nenek di luar kota.
Alasan ujian membuat Amaris bisa menghindar dari paksaan orang tuanya, sehingga rumahnya bebas selama satu minggu penuh. Itulah saat yang tepat untuk bermesraan dengan Sheila, dan ia telah menyiapkan banyak hal untuk pekan yang istimewa itu.
Sheila datang pagi hari itu dengan mengenakan seragam sekolahnya. Perpisahan yang cukup lama ternyata membuat wanita itu lebih agresif, sehingga, meskipun tetap Amaris yang harus memulainya, Sheila memberikan balasan yang sedikit liar dan nakal. Amaris sampai megap-megap kewalahan. Sesudahnya mereka tertawa-tawa sambil berpelukan di atas sofa, sembari mata mereka menatap layar TELEVISI tanpa bermaksud menontonnya. Sekitar menjelang siang Sheila dibonceng Amaris untuk main ke Mall M. Setelah itu dilanjutkan ke taman L dan bermain sepeda air di sana.
Mereka juga melakukan banyak hal yang menyenangkan, yang membuat mereka lupa waktu. Hari telah senja ketika keduanya memutuskan untuk pulang, saat langit berubah gelap dan tiba-tiba saja menjadi hujan yang sangat deras sebelum keduanya tiba di rumah. Tak sampai lima menit ketika keduanya berubah basah kuyup, dan Sheila telah menggigil kedinginan saat perjalanan belum mencapai setengahnya.
Keduanya tiba di rumah saat menjelang makan malam. Oleh-oleh yang mereka beli di jalan telah basah kuyup dan tak ada satu bagianpun yang kering dari diri mereka.
Tubuh Sheila menggigil hebat dan wajahnya pusat pasi. Bibirnya agak membiru. Amaris bergegas membawa wanita itu ke dalam rumah dan menyiapkan air panas di bath-tub kamar atas. Sementara menunggu wanita itu mandi, ia menyiapkan dua gelas susu coklat panas dan sekaleng biskuit kacang. Ia sendiri langsung mandi setelah itu, dan keduanya selesai setengah jam kemudian.
Sheila baru sadar bahwa ia tidak memiliki pakaian ganti, dan kebingungan sampai mengurung diri di kamar mandi. Amaris berusaha meminjamkan pakaian ibunya, tapi pakaian bersih ibunya terkunci dalam lemari. Sementara itu pakaian Hana juga tak muat dan terlalu kecil. Untunglah Amaris ingat bahwa di kamar tamu ada pakaian-pakaian saudara sepupunya, yang biasa disimpan di sana untuk dipakai jika menginap di rumah Amaris.
“Tapi… Sepupuku tidak berjilbab. Jadi pakaiannya agak… Kamu coba aja deh cari yang pas. Aku tunggu di ruang TELEVISI…” Sheila kebingungan sendiri di kamar tamu itu.
Ia agak risih karena semua pakaian di dalam lemari itu adalah pakaian-pakaian yang gaul, serba ketat dan serba minim. Cukup lama ia memilih dan tidak menemukan juga pakaian yang cocok untuk dirinya, sehingga ia memilih pakaian yang menurutnya agak paling sopan. Tapi tetap saja serba minim. Dengan malu ia mengenakan pakaian pilihannya dan menghampiri kekasihnya di ruang TELEVISI.
Wajah Amaris berubah kaget dan matanya bergerak kesana-kemari, mata yang biasa Sheila temukan pada pria-pria nakal di pinggir jalan. Tapi Sheila tahu semua ini karena dirinya, dan setengah menangis ia berusaha menutupi keterbukaan dirinya dengan kedua tangan. Bagaimana tidak?! Inilah pertama kalinya seumur hidup ia mengenakan pakaian minim di hadapan seorang pria, meskipun itu adalah kekasihnya juga.
Sepupu Amaris bertubuh lebih pendek dan kecil dari dirinya, sehingga kaus pink tipis bergambar Barbie yang ia kenakan benar-benar melekat ketat di tubuhnya, menampakkan lekuk-lekuk yang nyata dan mempesona.bBahkan bagian pusarnya tidak betul-betul tertutupi, meskipun berkali-kali ia berusaha menarik kaus itu ke bawah. Sementara itu, celana hijau lumut selututnya juga sama ketatnya, dan tidak benar-benar selutut, karena tubuh Sheila yang tinggi.
Sheila sebetulnya memiliki kulit yang putih bersih dan lekuk yang indah, sehingga ia nampak cantik menawan dengan pakaian seksi itu. Terlebih rambut panjangnya masih setengah basah, menciptakan sedikit gelombang yang menambah aura kecantikannya. Tapi Sheila tak terbiasa dengan hal-hal seperti itu, hingga ia merasa dirinya buruk dan norak. Ia takut Amaris meledeknya, serta jengah dengan keterbukaannya sendiri.
“Kamu cantik sekali, Sheila…” Suara Amaris terdengar bergetar, dan Sheila merinding ketika pria itu malah mendekatinya dan berusaha memeluknya.
Ia berusaha menghindar dan tangannya menolak pelukan Amaris.
“Sheila malu… Jangan, Amaris… Jangan…”
“Lho… Kenapa?”
Sheila hanya menggeleng dan Amaris berusaha menghormatinya. Mereka menghabiskan malam dengan menonton TELEVISI dan menghabiskan susu hangat di meja. Namun Sheila agak lebih pendiam dan gelisah. Tangannya terus-terusan memeluk bantal besar, berusaha menutupi apa yang ada di baliknya. Ia tak tahu bahwa pria di sebelahnya lebih gelisah lagi, meski alasannya sedikit berbeda. Ia terlalu sibuk oleh pikirannya sendiri hingga tak sadar bahwa mata Amaris terus menelusuri dirinya, seolah berusaha menelanjangi.
Awalnya Sheila tak sadar pada sentuhan itu. Berkali-kali Amaris mencium pipinya, tapi ia menganggap wajar hal tersebut. Itu hal yang biasa mereka lakukan, dan Sheila menganggapnya sebagai sun sayang yang biasa ia dapatkan. Tapi Amaris kini telah melingkarkan tangan kiri melalui sandaran sofa dan mendarat di bahunya. Sedang tangan kanan diletakkan di atas lutut Sheila yang terbuka. Cuaca memang sangat dingin akibat hujan yang tidak juga berhenti, hingga elusan di lututnya terasa nyaman dan menghangatkan, membuat Sheila setengah tak sadar ketika elusan itu makin merambat ke atas pahanya yang sedikit tersingkap.
Sheila sangat suka nonton sinetron dan tayangan di TELEVISI adalah sinetron favoritnya. Adegan dan kata-kata romantis di layar kaca seperti memberi hipnotis tersendiri. Adegan ciuman memang disensor, tapi hal itu justru membuatnya tak kuasa menolak saat ciuman Amaris beralih ke bibir basahnya. Untunglah saat itu sedang iklan, hingga ciuman dari Amaris dapat diterima oleh Sheila sepenuhnya, yang baru sadar bahwa posisi duduk kekasihnya sangat mengintimidasi dirinya.
Tapi ciuman itu begitu manis dan menyenangkan, memunculkan rasa hangat yang menggelora yang sangat ia rindukan. Tak perlu menunggu lama untuk membangkitkan hasrat wanita itu. Pengalaman telah mengajarkan banyak hal kepadanya, sehingga lidahnya langsung menyambut saat Amaris mulai mengajaknya bermain-main.
Bibir Sheila termasuk tipis, merah dan masih alami. Namun lidahnya lincah dan pandai bergerak. Dengan daya dukung kecerdasan di atas rata-rata, ia menjadi wanita yang cepat belajar dan tahu bagaimana cara memuaskan lawan mainnya. Amaris sendiri sangat kaget dengan kecepatan Sheila dalam mempelajari teknik-tekik baru, hingga di akhir pertandingan lidah mereka, ia membiarkan sang wanita mengalahkannya hingga pipi wanita itu merona akibat agresivitasnya sendiri.
Ketika berciuman Sheila lupa pada apapun. Tapi setelah selesai ia baru sadar bahwa sejak tadi tangan kanan Amaris terus-terusan membelai-belai pahanya, bergantian antara kanan dan kiri. Kini ia benar-benar merasakan rangsangan itu, rangsangan yang lebih terkesan dewasa dibanding sekedar ciuman bibir. Tangannya bertindak cepat, mencegah Amaris sesaat sebelum tangan kekasihnya itu menyentuh bagian pangkal pahanya.
Mulut mereka terdiam dan hanya mata yang berbicara. Amaris meminta, Sheila menolak halus. Tangan Amaris bergerak lagi, tapi Sheila mencegah lagi. Amaris tersenyum manis.
“Maaf, ya… Aku kelewatan…” Sheila ikut tersenyum.
“Lebih baik kita dengar musik aja, ya! Kita berdansa. Seperti di film.”
Sheila diam menunggu dan manut saja pada apa yang diinginkan kekasihnya. Suara lembut mengalun dari player, dan tangan Amaris menjulur padanya. Sheila grogi karena ia belum pernah berdansa sebelumnya. Amaris meyakinkan bahwa ia sama tidak tahunya seperti Sheila. Jadi tak usah malu karena mereka hanya berdua di sini. Dengan langkah-langkah kaku tubuh mereka bergerak pelan, saling berpelukan.
Keduanya tertawa pada gerakan masing-masing, tapi tetap merasa senang karena ciuman dimulai lagi beberapa saat sesudahnya. Tubuh Sheila hampir sama tingginya dengan Amaris, hingga ia tak perlu berjinjit untuk menyambut pagutan pria itu. Ia tak tahu bahwa kecantikannya makin memesona diri Amaris dan keremajaannya terus memancing-mancing gairah.
Belum lagi aroma parfum menebar dari seluruh tubuhnya. Tangan Amaris tak tahan untuk tidak mengelus-elus tubuh bagusnya, bergerak dari pinggang ke arah atas. Sheila masih setengah menganggap elusan itu adalah bagian dari gerakan berdansa. Ciuman bibir Amaris membuat tubuhnya lemas, hingga elusan itu ia nikmati saja seperti halnya ciuman di bibirnya. Terasa geli saat menyentuh bagian samping dadanya.“Mmmh… Mmhhh…” Elusan tangan Amaris makin mengarah ke dada Sheila, membelai-belai benda yang lunak dan empuk itu.
Wanita itu mengejang karena rasa aneh yang melandanya. Itu adalah sentuhan pertamanya, dan ia masih sangat sensitif. Tangannya secara refleks berusaha mencegah, tapi Amaris yang tak mau gagal lagi berusaha menahan Sheila agar tetap diam. Ciumannya makin liar hingga Sheila tak bisa mengelak. Remasan di dadanya terasa makin nyata, membuat Sheila terengah-engah akibat rangsangan hebat di tubuhnya. Ia tak kuasa mencegah remasan itu, karena bagaimanapun dirinya ternyata menikmatinya.
Keduanya terengah-engah akibat ciuman yang panjang itu. Sedang muka Sheila makin memerah, karena ia benar-benar terangsang oleh remasan tangan Amaris di dadanya. Buah dadanya yang berisi membuat genggaman Amaris terasa penuh. Ia membiarkan dirinya terdesak ke dinding, hingga ia tidak sampai merosot jatuh saat remasan tangan Amaris makin lincah dan mempermainkan puncaknya yang masih tertutup kaus. Ia hanya mendongak setengah terpejam dan tangannya yang bingung merapat ketat di tembok. Ia makin belingsatan karena di saat yang bersamaan ciuman Amaris mendarat di dagu dan lehernya bertubi-tubi.
Lehernya cukup panjang dan jenjang, hingga kepala Amaris dapat terbenam di sana dan memagut-magutnya seperti ular. Sheila merasakan air mata mengalir lewat sudut matanya. Ia sangat kebingungan mengenali perasaannya saat ini. Remasan tangan kanan Amaris berganti menjadi ciuman bibir. Ia sempat menunduk dan hanya melihat rambut kekasihnya. Kepala Amaris terbenam di buah dadanya yang telah mengeras kencang, dan Sheila dapat mendengar kecipak-kecipuk saat Amaris melahap dadanya itu dengan sedikit buas.
“Amaris… Amaris… Ohhh. Apa yang kamu lakukan sama Sheila… Mmhhh… Jangan, Ris… Aahh…”
Amaris telah menggulung kaus ketatnya ke arah atas, berusaha menyingkapkannya agar buah dada itu lebih leluasa dinikmati. Lelaki itu terus meremas-remas dengan lembut dan penuh perasaan. Menjepit dan mempermainkan putting susunya yang masih tertutup BH tipis berwarna krem. Mungkin Amaris merasa gemas mendapati buah dada yang demikian empuk dan kenyal itu, buah dada perawan yang masih sangat sensitif dari sentuhan.
Keadaan Sheila kini sungguh mengenaskan. Kekasihnya menyerangnya di berbagai tempat, mempermainkan dirinya seperti sebuah boneka. Bibir dan tangan kiri di buah dadanya, tangan kanan di sela-sela pahanya. Semuanya adalah sensasi yang baru pertama kali ia rasakan. Dulu ketika ia belum pernah mengalaminya, ia selalu berjanji bahwa ia hanya akan melakukan ini dengan suaminya di atas ranjang pernikahan.
Dulu ketika hal ini tak pernah terbersit dalam benaknya, ia sangat yakin mampu menjaga kehormatannya. Tapi kini ketika benar-benar mengalaminya, ia tak tahu apakah ia akan tetap sekuat itu. Sentuhan-sentuhan ini terlalu melenakan dirinya, dan membangunkan perasaan rindunya yang telah lama terpendam. Ia sangat bingung hingga hanya mampu meneteskan air mata dan meremas remas rambut Amaris.
“Aku sayang kamu, Sheila… Mmmh… Aku sayang kamu…” Terdengar rayuan Amaris di sela-sela kesibukannya.
Sheila hanya mampu menjawabnya dengan erangan-erangan aneh, karena saat itu tangan kanan Amaris telah menembus langsung ke pangkal pahanya. Jari jemari pria itu menggosok-gosok dan mempermainkan di tempat yang paling sensitif, hingga Sheila merasakan celananya basah oleh cairan yang tak ia kenal sebelumnya. Memang sentuhan tersebut bukanlah sentuhan langsung karena tubuh Sheila masih tertutup CELANA DALAM tipis dan celana ketatnya. Tapi ini adalah sentuhan pertamanya, dan semuanya sudah lebih dari cukup untuk membangkitkan rangsangan dahsyat itu. Apalagi setelah beberapa lama Amaris tidak juga menghentikan aktivitasnya, melainkan menggesek-gesek dengan lebih liar.
Kemaluannya terasa seperti diaduk-aduk, hingga makin lama ia makin merasakan desakan yang aneh sangat sulit ia pahami. Ia tak dapat menahan perasaannya. Ia terus mengerang… mengerang… hingga desakan itu makin menuju ke arah puncak… Ia tak sanggup bertahan lagi…
“Aaahhhh… Aaahhhh… Akhhhhhhhh….” Sheila menjerit panjang saat orgasme melanda tubuhnya untuk pertama kalinya.
Tubuhnya mengejang kuat, melengkung seperti busur. Kakinya merapat menjepit tangan Amaris yang tak juga berhenti bergerak. Ia merasakan letupan-letupan dahsyat seperti sebuah terpaan badai. Dunia dipenuhi warna yang berpadu dengan indahnya.
Ironis bukan… ya seperti itulah kenyataan yang ada dewasa ini. Kita lihat saja kedepannya kita akan seperti apa