situs bandarq

Pertama Kali Mendapatkan Terangsang


afb-365.com
Sehabis Shinta pergi, sebenarnya Aqu sempat berharap agar permainan kita dilanjutkan. Tetapi Shana ternyata menolak, mungkin peristiwa menegangkan tadi sudah membuat mood-nya down, atau malah membuat dia kapok. Aqu tidak bisa memaksa, karena semua ini memang dia yang memulai. Tetapi Aqu tidak terlalu kecewa,setidaknya Aqu sempat mengalami ejAqulasi tadi, jadi gairahku lumayan bisa dikendalikan.

“Di, loe inget ya…, besok kita ketemu di kampus, loe anggep semua ini gag pernah terjadi,” ucap Shana ketika Aqu pamit. Aqu mengangguk saja sembari tersenyum, padahal mana mungkin Aqu bisa melupakan kejadian tadi. Mustahil.

Esok paginya, Aqu pergi ke kampus seperti biasa, kebetulan pagi ini mata kuliahku tidak ada yang satu kelas dengan geng Power Rangers, jadi Aqu tak terlalu khawatir. Dosen memberikan materi panjang lebar sampai membuatku mengantuk, untungnya bel segera berbunyi.

Giska

Ketika keluar beberapa langkah dari ruangan kelas, tak sengaja Aqu menabrak seseorang. Ia tidak terjatuh, tetapi sebuah majalah yang ada di tangannya yang jatuh. Aqu memperhatikan orang yang kutabrak itu. Seorang mahasiswi, lebih tepatnya adek kelas. Aqu tidak kenal dekat dengannya, tetapi kita saling tahu nama. Namanya adalah Giska, satu tingkat di bawahku. Ia cukup populer di kampus karena wajahnya yang cantik dan pandai bergaul. Tubuhnya lebih mungil dan lebih kecil dari Shana, tetapi wajahnya tak kalah manis, Aqu menebak dia ada keturunan Chinese karena kulitnya putih mulus dan matanya agak sipit. Ia memakai kemeja kotak-kotak yang tampak kebesaran dan mengenakan kacamata berframe warna maroon, Tetapi sama sekali tidak membuat dia terlihat kutu buku. Terlebih lagi, ia adalah seorang vokalis band yang cukup sering manggung di acara-acara kampus.

“Eh Sorry, gag sengaja,” ucapku.

“Gag papa Kak, saya yang gag liat,” jawabnya sembari memungut tabloid yang jatuh.

Selama beberapa detik kita bertatapan. Aqu merasa ada yang aneh dengan tatapannya, sampai kemudian Aqu sadar kalau geng Power Rangers sudah menungguku di seberang sana. Ada Shana juga yang sedang menatapku. Apa ya yang dia pikirkan?

“Woy, sini!” ucap Rendy sembari melambaikan tangan.

Sembari mengangguk pelan Aqu menigaglkan Giska dan bergegas ke tempat mereka. Semua anggota geng berkumpul, kecuali Gilang. Shinta sedang asyik mengunyah biskuit dan Shana tampak serius mengetik di handphonenya. Aqu melirik sekilas, dan Shana ikut menoleh, tetapi ia cepat-cepat kembali menatap layar handphonenya. Jantungku berdetak kencang, dan bersamaan dengan itu kemaluanku mengeras sedikit. Tetapi kenapa dia tidak tersenyum? Apakah dia juga sama canggungnya denganku?

“Gimana, sore ini ada acara gagk?” Rendy bertanya sembari menepuk pundakku.

“Ada apa Yan?”

“Koq ada apa? Kan tiga hari lagi UAS, kita belajar bareng dong. Kan mata kuliah kita banyak yang sama. Gimana?” jawab Rendy.

“Koq tumben?” balasku.

“Tau nih, bocah ini tiba-tiba sok rajin gitu. Paling-paling dia ga punya catetan dan males baca buku,” ujar Shinta.

“Ayolah… Si Gilang udah setuju, dia nyediain tempat dan konsumsi gratis. Oke kan?” ucap Rendy. Aqu dan Shinta mengangguk sehabis mendengar kata konsumsi gratis.

“Loe gimana Tan, bisa?” tanya Shinta.

Shana agak terkejut dan menoleh dengan tiba-tiba, “Oh bisa koq bisa, gag masalah.”

Singkat cerita, setengah jam kemudian kita pun berangkat ke rumah Gilang menggunakan mobilnya. Rendy duduk di depan bersama Gilang, sementara Aqu, Shana, dan Shinta duduk di belakang. Shinta di kiri, Shana di tengah, dan Aqu di kanan. Berada dalam jarak dekat dengan Shana membuatku sangat canggung, apalagi kalau mengingat kejadian kemarin. Mungkin karena merasa tidak enak, Shana akhirnya membuka pembicaraan.

“Eh loe udah ngerjain tugasnya Pak Jhoni belum?” ucap Shana menyebutkan nama seorang dosen.

“Oh, belum tuh,” jawabku.

“Yah, tadinya aqu mau nyontek. haha,” ia tertawa.

“Huh, kenapa sih hari ini orang-orang pada seneng ngomongin pelajaran? Mendadak rajin ya?” gerutu Shinta, dibalas cubitan dari Shana, lalu mereka bercanda seperti biasa. Perasaanku sedikit lega.

Tak sampai setengah jam, kita pun tiba di rumah Gilang. Rumahnya besar dan mewah, di garasi berderet dua buah mobil milik orangtuanya.Ketika kita masuk ke ruang tamu, Sherly, adeknya Gilang sedang duduk di sofa sembari membaca majalah. Sherly masih duduk di bangku SMA, rambutnya bergeloembang, dan wajahnya imut. Ia duduk menyamping dan memperlihatkan pahanya yang putih mulus karena memakai hotpants.

“Baca majalah jangan di ruang tamu,” ucap Gilang ketus.

“Emang kenapa? Suka-suka aqu dong!” balas Sherly.

“Nanti gag ada orang yang mau bertamu ke rumah kita!”

Plak! Majalah itu melayang dan menghantam wajah Gilang. Kakak-adek ini memang senang bertengkar sejak dulu, tetapi kita tahu mereka sebenarnya Aqur. Tanpa memperpanjang pertengkaran itu, kita beranjak ke kamar Gilang. Kamar yang nyaman, sejuk karena ber-AC, dan untuk ukuran kamar lelakik lumayan rapi. Kita pun memulai acara belajar keloempok.

Ketika kita sedang membolak-balik buku pelajaran dan bertukar catatan, tiba-tiba saja Rendy berteriak.

“Apaan tuh!” teriak Rendy sembari menunjuk-nunjuk.

“Kenapa sih loe, kaya Jaja Miharja aja,” umpat Shinta.

Rendy segera merangkak ke koloeng tempat tidur Gilang dan mengambil sesuatu dari dalam sana.

“Bokep coy!” ucap Rendy sembari memperlihatkan sebuah kotak DVD bergambar perempuan Jepang tanpa busana. Kita semua tertawa terbahak-bahak.

“Kaya bocah SMP aja loe, masih ngumpetin kaya gituan,” Shana tertawa.

“Masih jaman ya, nonton bokep pake DVD?” Aqu ikut menimpali.

“Itu DVD original import dari Jepang langsung. Ngiri ya loe semua? Bisanya cuma downloead bajakan kan?” ucap Gilang sembari berusaha merebut DVD itu.

“Ah bokep ya bokep, apa bedanya bajakan atau original? Coba nyalain,” balas Rendy.

Rendy segera memasukkan DVD itu ke dalam laptopnya yang kebetulan sudah dinyalakan. Hanya dalam beberapa detik, terpampanglah adegan wanita Jepang yang cantik sedang berciuman dengan seorang lelaki. Buah dada wanita itu berukuran besar, diremas-remas dan dihisap-hisap oleh aktor lelaki. Kita semua fokus menonton adegan itu.

“Buset, gede ya toketnya. Kayanya enak tuh,” ucap Rendy agak berbisik.

“Iya, gagk kaya perempuan-perempuan di keloempok kita, rata semua kaya triplek!” ujar Gilang. Kita melirik pada Shana dan Shinta.

“Sialan loe!” ucap Shana sembari memukul pundak Gilang menggunakan kertas.

“Tetapi punya aqu masih lebih gede daripada punya Shana, tau…,” ucap Shinta pelan.

Gilang dan Rendy tertawa terbahak-bahak, sementara Shana meloetot dan mulai mencubiti Shinta.

Aqu refleks bergumam,

“Hehehe, tetapi yg kecil-kecil tu bikin gemes.”

Shana melirik ke arahku dan menjulurkan lidah, sementara bocah-bocah yang lain sepertinya tidak mendengar gumamanku.

Acara ‘belajar keloempok’ masih terus dilanjutkan. Adegan-adegan di monitor semakin hot, dan harus kuAqui kalau kemaluanku sudah menegang di balik celana. Shana kebetulan duduk di sebelahku, ia merapatkan posisi duduknya agar bisa melihat laptop dengan jelas. Ketika ia merapat, dadanya berada di belakang siku tanganku, dan entah disengaja atau tidak, ia mulai menggesek-gesekkannya. Kemaluanku semakin keras.

Pelan-pelan Aqu ikut menggerakkan siku tanganku, misalnya dengan pura-pura megagruk leher. Kenyalnya buah dada Shana bisa kurasakan samar-samar, sementara itu hembusan nafasnya menjalar di leherku. Untung bocah-bocah yang lain tidak ada yang sadar.

Ketika suasana semakin hot, tiba-tiba pintu kamar diketuk, Rendy yang kaget segera menutup laptopnya. Ternyata pembantu Gilang membawakan minuman. Aqu menghela nafas, Shana juga menggeser duduknya lebih menjauh. Aqu dapat melihat wajahnya yang merona merah.

Sehabis itu, acara belaajr keloempok dilanjutkan secara normal. Kira-kira satu jam kemudian, kita pun memutuskan untuk pulang. Sayangnya, mobil Gilang sedang dipakai, jadi kita harus pulang menggunakan kendaraan umum. Hampir lima belas menit di dalam bus, Rendy dan Shinta turun lebih dulu, karena rumah mereka memang lebih dekat. Tigagl Aqu dan Shana yang tersisa di bus, Aqu pindah duduk ke sebelahnya. Bus yang kita naiki kebetulan sedang sepi, mungkin karena sekarang sudah lewat jam pulang kantor. Duduk bersebelahan dengan Shana tanpa ada orang lain di sekitar, membuatku merasa agak aneh.

“Kenapa Di, diem aja?” ucap Shana. Ia duduk di samping jendela, tirainya ditutup karena silau.

“Gag koq, ngerasa aneh aja,” Aqu tertawa.

“Biasa aja lagi.”

Selama beberapa menit, kita terdiam. Mungkin Shana juga merasa tidak enak karena Aqu tidak menimpali obrolannya. Tetapi jantungku berdebar kencang ketika membayangkan kejadian kemarin. Rasanya ada yang masih megagnjal. Pelan-pelan Aqu menggerakkan tanganku ke pundak Shana, Aqu ingin merangkulnya, Aqu ingin memeluknya, ingin merasakan kehangatan tubuhnya lagi. Shana hanya diam, ia menatap ke jendela meskipun tidak terlihat apa-apa. Jantungku berdetak semakin kencang. Entah karena gugup atau merasa tertantang karena kita sedang berada di dalam bus. Perlahan-lahan tanganku turun ke pigagngnya. Aqu dapat merasakan pigagngnya yang ramping dibalik balutan kaosnya yang sempit. Sehabis memastikan tak ada orang yang melihat, kudekatkan wajahku ke pipinya.

Plak!

Ia menamparku. Keras sekali, bahkan bunyinya terdengar jelas. Aqu kaget bukan main, segera kutarik tanganku menjauh darinya.

Sembari menatapku, Shana berbisik kesal, “Kan aqu udah bilang kemarin, cuma sekali itu aja! Kaloe kita ketemu lagi, aqu minta loe agagp yg kemarin itu ga pernah terjadi, ngerti kan?”

Nyaliku langsut ciut diomeli seperti itu. Perasaan kecewa dan malu bercampur aduk di dalam kepala, betapa bodohnya Aqu. Kalau memang Aqu mencintainya, seharusnya Aqu bisa memahami perasaannya. Aqu kecewa pada diriku sendiri, jangan-jangan perasaan ini sudah berubah menjadi gairah mesum semata. Sepanjang perjalanan sampai Shana turun terlebih dulu, Aqu hanya menundukkan kepala. Kita tidak berbicara sepatah kata pun.

Aqu tiba di kostan dengan perasaan sedih. Aqu tidur-tiduran di atas kasur sembari memikirkan apa yang harus Aqu lAqukan sekarang. Apakah persahabatanku dengan Shana akan berakhir karena masalah ini? Tidak mungkin. Aqu mengambil HP dan mengirim SMS ke Shana.

‘Tan, maaf ya, tadi gw khilaf’

Aqu diam menunggu balasan, tetapi tak juga ada SMS yang masuk. Selama beberapa menit perasaanku terus gelisah sampai tiba-tiba saja handphoneku berbunyi, Aqu meloenjak kaget. Telepon, dari Shana.

“Di, loe lagi di kostan?” tanya Shana.

“Iya.” jawabku.

“Aqu ke sana ya sekarang!”

“Eh, tetapi, tetapi….”

Shana menutup teleponnya. Sebenarnya Aqu ingin bilang kalau Aqu ingin meminta maaf soal kejadian tadi, tetapi ia tampak terburu-buru. Untuk apa ia datang ke sini? Aqu menunggu dengan jantung berdebar.

Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aqu tahu siapa dia. Aqu bergegas berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di balik pintu ada Shana yang berdiri sembari tersenyum. Ia mengenakan kaos biru bergaris dan celana jeans. Aqu sadar, senyumnya padAqu menandakan bahwa ia sudah tidak marah lagi. Aqu langsung mempersilahkannya masuk ke dalam kamar.

“Di, Sorry ya soal yang tadi. Aqu sebenernya gugup, jadi kebawa emosi. Aqu ngeri soalnya kita lagi di bus. Suer, gag ada maksud kasar koq,” ujar Shana sembari duduk di atas tempat tidurku.

“Gag, Tan, harusnya aqu yang minta maaf. Aqu yang salah, gag inget janji aqu sendiri” ucapku.

“Sebenernya aqu juga melanggar janji koq waktu di rumah Gilang tadi.” Shana tersenyum.

“Waktu nonton bokep tadi ya? Itu emang sengaja ngegesek-gesekin?” tanyAqu. Shana mengangguk, lalu kita berdua tertawa.

“Liat sini deh,” ucapnya tiba-tiba.

Aqu menoleh ke arah Shana dan menatap matanya. Matanya yang indah membuatku terhipnotis. Pelan-pelan ia menyentuh pipiku dan mengelus-elusnya.

“Masih sakit bekas tamparan aqu tadi?”

“Masih. Tenaga loe kaya babon sih.”

“Sialan loe! Mau aqu tabok lagi?” ujar Shana sembari tertawa.

Dengan gerakan cepat, ia mengecup pipiku. Aqu menahan nafas karena kaget.

“Udah? Udah gag sakit kan?”

Aqu tersenyum, membalas senyumannya. Hatiku sekarang terasa tentram dan damai. Rasanya Aqu jatuh cinta kepadanya, Aqu benar-benar jatuh cinta. Lalu kita bertatapan tanpa bicara, diam dan hening. Lalu bibirnya bergerak mendekat dan mencium bibirku. Bibirnya lembut dan hangat. Aqu tak bisa tigagl diam, Aqu membalasnya, mencium bibirnya dengan penuh gairah.

“Mmmh… Di… Mmm..,” desahan Shana terdengar di antara ciuman.

Sembari terus melumat bibirnya, Aqu mendorong dia ke tempat tidur. Ia jatuh terlentang. Aqu cium lehernya pelan-pelan, lalu Aqu jilati lehernya sampai ke dagu. Ia mendesah agak keras.

“Geli…”

Sehabis puas menyantap lehernya, Aqu kembali menatap wajahnya, dan kita tersenyum.

“Kemarin aqu pikir, itu untuk yang pertama dan terakhir. Tetapi ternyata… kemarin kan cuma loe aja yg dapet kenikmatan… loe masih utang satu sama gua, Di….” ucap Shana.

“Mau kaya kemarin lagi?” Aqu memijat-mijat buah dadanya dari luar kaos dengan perlahan. Ternyata ia tidak memakai bra.

“Ahhh…. Buka aja kaos aqu, gag apa-apa lah,” ucap Shana.

Aqu menarik kaosnya ke atas, dan ia juga membantu melepaskannya. Terlihatlah di hadapanku tubuhnya yang topless. Perutnya langsing dan rata, kulitnya mulus, dan dua buah buah dada yang berukuran kecil Tetapi bulat sempurna dan proporsional.

“Mmm.. toket aqu gag segede yang di film tadi ya?” ia memanyunkan wajahnya.

“Kan aqu udah bilang, yg kecil tu bikin gemes.”

Shana tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Aqu mencium keningnya.

“Terus, loe pengen diapain nih?” ucapku menggoda.

“Terserah loe mau ngapain aja sekarang, tetapi kaloe aqu bilang stop, loe mesti berenti ya?” ucap Shana sembari mengusap rambutku.

“Tenang aja,” ucapku. Sepertinya Shana sudah tidak segugup kemarin. Mungkin karena ini sudah bukan yg pertama.

Aqu mulai membelai buah dadanya dengan kedua tangan. Dengan perlahan Aqu mengelus daerah seputar putingnya, lalu kujilat dengan ujung lidah. Ia mengerang. Lalu Aqu mulai menyedotnya, Aqu hisap puting kanannya yang sudah menegang.

“Gila.. nikmat banget…, yang kiri juga Di… isep juga…. ahhh”

“Selow dong, aqu gag kaya loe, mulut aqu cuma satu.”

“Sial, dasar,” ia tertawa.

Aqu meremas-remas buah dada kanannya, lalu yang sebelah kiri kujilat-jilat dan kuhisap. Ia kembali mendesah. Aqu gigit pelan putingnya, ia menjerit kecil. Lalu kujilati lagi sampai basah.

“Uhh… untung sekarang di tempat loe, jadi gag akan digangguin Shinta lagi,” ucapnya sembari mendesah, “handphone juga aqu matiin.”

“Bener juga ya, untung kamar sebelah lagi pada pulang kampung,” Aqu memijat-mijat kedua buah dadanya.

Ciumanku turun ke perutnya. Perut yang rata dan halus, wangi parfum perempuan yang manis. Aqu memainkan lidahku di daerah pusarnya, ia menggelinjang.

Tanpa minta izin, Aqu membuka kancing celana jeansnya dan menariknya ke bawah. Shana tidak menolak, ia malah membantu mengangkat pinggulnya. Sehabis celana itu berhasil dilepas, Aqu dapat melihat celana dalam warna hijau muda yang ia kenakan yang tampak agak basah. Pahanya sangat mulus, membuatku langsung mengelus dan menciuminya.

“Hahhh… Di… Mmhh,”

“Kenapa?”

“Kemaluan aqu blum pernah disentuh lelaki…”

“Aqu juga blum pernah nyentuh punya perempuan… Mau stop aja?”

“Mmmh… Dikit aja deh..,” ucapnya dengan wajah yang sayu.

Dengan gerakan yang lembut, Aqu menggesek-gesek ujung jariku ke celana dalamnya, tepat di bagian kemaluan.

“Gimana rasanya?” tanyAqu.

“Aaahh.. enakk… terus Di,”

Aqu menjilati pahanya yang mulus, dan kemudian naik ke arah selangkangannya. Dapat kurasakan kakinya menegang karena keenakan, lalu tanpa memberitahunya terlebih dahulu Aqu melepaskan celanAqu.

“Ngapain loe buka celana?” ia memperhatikan kemaluanku yang sudah berdiri tegak dihadapannya.

“Gag ngapa-ngapain, soalnya sesak udah tegang banget.”

“Selow, ntar aqu kocokin lagi kaya kemarin. Tetapi loe bantuin aqu dulu ya…,” pintanya.

Dalam hati, sebenarnya Aqu sangat ingin memuaskan hasrat Shana. Aqu ingin melihat ia tersenyum lega, Aqu ingin ia mendapat kepuasan dariku. Mungkin hanya dengan itu, suatu ketika ia akan menyadari perasaanku yang sebenarnya.

Aqu menarik celana dalamnya sampai ke lutut, ia tampak terkejut. Tetapi tanpa buang-buang waktu, Aqu segera menciumi kemaluannya. Aqu jilati bibir kemaluannya yang sudah lembab itu. Aqu cium, Aqu hisap, Aqu jilat klitorisnya.

Shana menjerit.

“Adiii… ahhh gila loe… loe apain kemaluan aqu… aaaggghhh…”

Sembari mengelus-elus pahanya, Aqu terus menjilati bibir kemaluannya sampai beberapa menit, dan dengan jilatan yang semakin cepat, tiba-tiba saja tubuhnya melengkung dan pahanya menegang, menjepit kepalAqu sampai Aqu sulit bernafas.

“Aaaaahhhh! Aqu sampeee… uuh…”

Beberapa detik kemudian ia telentang lemas dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia tersenyum padAqu, dadAqu terasa hangat. Bersamaan dengan itu gairahku semakin meledak-ledak.

Kudekatkan kemaluanku ke kemaluannya, lalu kugesek-gesek pelan. Ia kembali mendesah. Lalu kucium bibirnya sembari kuremas kedua buah dadanya.

“Tan… aqu pengen coba masukin… boleh ya?” ucapku dengan nafas memburu.

“Jangan Di, aqu masih perawan, aqu gag mau.”

“Pliis Tan, aqu gag tahan…,” Aqu masih menggesek-gesekkan kemaluanku di bibir kemaluannya.

“Jangan Di, jangan. Loe sahabat aqu, makanya aqu percaya sama loe, loe kan udah janji. Stop ya, plis…”

Aqu menatap matanya dengan wajah memelas, “Tan… sebenarnya aqu….”

“Gini aja, loe boleh minta apa aja sama aqu. Tetapi jangan yang satu itu ya? Itu mau aqu jaga untuk seseorang yang spesial buat aqu, buat lelaki yg benar-benar aqu sayang. Maaf banget, loe ngerti kan?”

Deg! Ada sesuatu yang menyesak di dadAqu. Apa maksudnya dengan perkataan tadi? Apa baginya Aqu bukan orang yang spesial? Bukan orang yang dia sayangi? Apakah ada lelaki lain yang ia sukai? Bodoh, apa yang Aqu pikirkan? Sejak awal ia memang tidak punya perasaan apa-apa padAqu, dan Aqu belum pernah mengungkapkan apa-apa.

Tiba-tiba saja Aqu patah hati. Apakah perasaanku bertepuk sebelah tangan? Tetapi Aqu tetap menghargainya, Aqu tak ingin menyakitinya.

“Kaloe… kaloe pake mulut mau gag Shan?” ucapku.

Ia terdiam sejenak, Tetapi dengan sedikit ragu-ragu ia mengangguk.

“Iya…, tetapi keluarin di luar ya…”

Aqu mengangguk.

Shana bangkit dari posisi tidurnya, lalu ia meraih kemaluanku yang masih tegang. Tangannya yang halus dan jari-jarinya yang lentik mulai mengocok batang kemaluanku. Aqu mendesah pelan.

“Aqu coba praktekin yang di film tadi ya, hehe,” iya tersenyum.

Pelan-pelan bibirnya mendekat ke ujung kemaluanku, lalu ia mengecupnya pelan. Lidahnya ia gunakan utuk menjilat bijik kemaluanku. Lalu dengan agak canggung ia mulai memasukkan kemaluanku ke mulutnya. Ia menyedot pelan, bibirnya terlihat monyong.

“Mmmm.. Slrppp… Sruupp”

Tubuhku gemetar merasakan nikmat, sekarang gadis yang kusukai ini sedang duduk di hadapanku dan menghisap kemaluanku dengan mulutnya.

Tetapi perasaan getir karena patah hati itu juga menodai pikiranku.

Dengan gairah dan kekecewaan yang membara, Aqu memegang kepala Shana, kutahan agar kepalanya tak bergerak. Lalu Aqu memompa pinggulku sampai kemaluanku keluar masuk di mulutnya. Ah, maafkan Aqu Shana, tetapi Aqu benar-benar tidak tahan.

“Mmmm Mmppppp!!!” Shana berusaha berontak dan mendorong pigagngku. tetapi tenagAqu lebih kuat.

Kupercepat genjotanku, untungnya kemaluanku tak terlalu panjang, jadi mudah-mudahan tidak membuat ia terlalu mual.

Dari bawah, Shana mendongak dan menatapku tajam. Sepertinya ia kesal. Tetapi Aqu tak bisa menghentikan ini, terus saja kugenjot mulutnya. Rasa nikmat menjalar dari kemaluanku sampai ke tulang belakang, dan pada satu titik Aqu merasa akan meledak.

Kutekan kepalanya ke arah kemaluanku, dan ketika itu juga Aqu mengalami ejAqulasi.

“Aaaaah….!” Crot! Crot! Crot! SpermAqu muncrat ke dalam mulut dan tenggorokan Shana.

Aqu terduduk lemas di atas tempat tidur. Kusaksikan Shana yang sedang terbatuk-batuk, mulutnya penuh dengan spermAqu.

“Sorry.. Sorry banget Shan. Aqu gag tahan,” ucapku.

“Sialan! Masih untung gag aqu gigit kemaluan loe itu, kaloe aqu gigit sampe putus baru tau rasa loe….” ujar Shana, sembari mencoba mengeluarkan sisa sperma dari mulutnya.

Aqu mengambil tisu di samping tempat tidur dan membantu mengelap sperma di mulut Shana. Aqu berusaha tersenyum untuk meredakan amarahnya.

“Aqu kelepasan tadi…”

“Kan udah aqu bilang, keluarinnya di luar…,” ia mencubit perutku, “…tetapi rasanya aneh banget ya? Lengket lagi…”

“Mana aqu tau,” Aqu tertawa.

Tubuh kita terasa lemas. Sehabis emosinya reda, kita kembali dapat bercanda dengan normal. Malam itu ia tidur di kamarku, tanpa busana, sampai pagi menjelang. Aqu mulai mempertimbangkan perasaanku sendiri.

Besok paginya, ia terbangun lebih dulu dan membangunkanku dengan sebuah pertanyaan.

“Adi, kita masih temenan kan?”

Aqu mengangguk. Aqu tak tahu harus menjawab apa.

“TTM,” ucapku singkat.

“Teman Tetapi Mesum?” balasnya sembari tertawa. Aqu ikut tertawa.